Sampel darah lisis atau hemolisis merupakan salah satu masalah laboratorium yang paling sering ditemui, sekitar 3,3% dari semua sampel rutin dan sekitar 40-70% dari semua sampel dengan kualitas yang buruk. Hemolisis bisa terjadi secara in vitro dan in vivo, dengan hemolisis in vitro adalah penyebab utama kerusakan sampel pada pasien rawat inap dan rawat jalan, baik itu pemeriksaan laboratorium rutin dan cito. Hemolisis in vitro ini merupakan kondisi yang paling tidak diinginkan oleh petugas laboratorium karena mempengaruhi akurasi dan reliabilitas pemeriksaan laboratorium.
Hemolisis, dari bahasa latin hemo (darah) dan lysis (pecah), adalah pelepasan hemoglobin dan komponen intraseluler dari sel darah merah ke cairan plasma akibat kerusakan membran sel darah merah. Batas atas nilai rujukan dari hemoglobin bebas pada plasma adalah 20 mg/L dan serum 50 mg/L. Hemolisis terlihat oleh mata jika kadar hemoglobin bebas di atas 300 mg/L, dimana terjadi perubahan warna dari pink sampai merah pada serum atau plasma. Sayangnya hemolisis baru dapat dilihat dengan mata setelah sampel selesai disentrifus.
Penyebab hemolisis
Hemolisis bisa terjadi pada berbagai proses preanalitik, mulai dari saat flebotomi, pengantaran sampel, preparasi sampel, dan penyimpanan. Pelaksanaan flebotomi yang tidak sesuai prosedur dapat memicu terjadinya hemolisis, seperti masuknya alkohol yang masih basah ke dalam sampel darah, jarum yang terlalu kecil (kurang dari 21G), sulit mencari pembuluh vena, vena yang kecil atau rapuh, pengambilan berulang kali, tekanan yang terlalu kuat saat memasukkan darah ke dalam spuit, volume darah yang kurang (rasio EDTA terlalu banyak dapat menyebabkan kerusakan membran sel darah merah), homogenisasi vakutainer terlalu keras, penggunaan torniquet terlalu lama dan terlalu keras.
Penggunaan sistem transportasi sampel seperti pneumatic tube juga dapat memicu terjadinya hemolisis, terutama pada sampel dalam vakutainer warna merah. Hemolisis juga bisa terjadi setelah sampel sampai di laboratorium, di antaranya karena kecepatan sentrifus terlalu tinggi dalam waktu yang lama, sampel tidak segera disentrifus, pengulangan sentrifus, kerusakan gel pemisah pada vakutainer warna kuning, dan penyimpanan sampel. Kadang juga dapat ditemukan hemolisis in vivo pada 2% kasus sampel lisis, contohnya pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun (AIHA), hemoglobinopati, infeksi berat, DIC, reaksi transfusi, dan lainnya.
Apa yang dilakukan ketika menemukan sampel yang lisis?
Insiden sampel lisis banyak ditemukan pada praktik flebotomi yang tidak dilakukan oleh petugas laboratorium, contohnya flebotomi yang dilakukan oleh perawat ruangan. Penyebabnya bukan semata karena pelaksanaan flebotomi, tapi juga penanganan sampel setelah pengambilan. Untuk meminimalisir hal ini adalah dengan mengadakan pelatihan flebotomi dan penerapan standar pengambilan dan penanganan sampel berupa SOP.
Berbagai alat laboratorium saat ini sudah dilengkap suatu modul untuk mendeteksi dan melakukan koreksi pada sampel yang buruk, termasuk hemolisis dengan pengukuran indeks hemolisis. Modul ini sangat membantu pada sampel lisis ringan yang tidak terlihat oleh mata kita, padahal sangat mempengaruhi beberapa hasil laboratorium seperti SGOT, LDH, dan kalium.
Ketika menemukan sampel yang lisis, maka kita perlu tahu apa saja pemeriksaan yang diminta dan apakah pemeriksaan tersebut dipengaruhi oleh hemolisis yang terjadi. Pada hemolisis yang signifikan dan terdapat kemungkinan menggangu pemeriksaan, maka kita tidak melakukan pemeriksaan sampel tersebut, segera berkomunikasi ke dokter tentang diagnosis pasien (apakah ada kemungkinan terjadi hemolisis in vivo) dan meminta sampel ulang. Jika hemolisis tidak signifikan dan tidak mengganggu pemeriksaan, maka pemeriksaan bisa dikerjakan dan hasil dikeluarkan tanpa catatan.
Pelaporan hasil laboratorium dengan catatan
Beberapa literatur menyebutkan penggunaan komentar atau catatan yang dapat menyertai hasil laboratorium pada kejadian sampel lisis. Contohnya dengan pemberian catatan kisaran kadar suatu pemeriksaan sesuai dengan derajat hemolisis. Atau jika alat tidak memilki modul untuk mengukur derajat hemolisis, catatan bisa berupa peringatan, contohnya kadar kalium kemungkinan tinggi palsu, singkirkan kemungkinan hemolisis in vivo atau kirim sampel ulang.
Pelaporan dengan catatan ini memiliki keuntungan hasil laboratorium bisa segera dikeluarkan dan dikirimkan ke ruangan, tanpa perlu menunggu waktu lama untuk menghubungi dokter yang merawat. Sayangnya pelaporan semacam ini memiliki lebih banyak kelemahan, yaitu hasil pemeriksaan sebagian besar memang tidak akurat dan tidak presisi, posisi catatan biasanya di bawah yang seringkali tidak terbaca terutama pada pasien di UGD atau ICU, dan memberi informasi yang salah ketika kita menelusuri riwayat rekam medik laboratorium pasien.
Rekomendasi dari beberapa literatur dan WHO bahwa hasil pemeriksaan dari sampel yang buruk seharusnya tidak boleh dikeluarkan. Segera berkomunikasi dengan dokter (atau perawat) mengenai sampel yang lisis (termasuk hasil pengukurannya jika ada kemungkinan hemolisis in vivo) sehingga sampel segera dikirim ulang, diperiksa, dan segera dilakukan tata laksana sesuai dengan hasil laboratorium yang tepat.
Semoga bermanfaat
Sumber:
- Haemolysis: an overview of the leading cause of unsuitable specimens in clinical laboratories
- Recommendations for detection and management of unsuitable samples in clinical laboratories
June 16, 2022 4:47 am
izin bertanya, dokter..bagaimana jika penyebabnya adalah hemolisis in vivo krn kondisi klinis pasien yang tidak memungkinkan untuk sampling ulang karena akan didapatkan hemolisis kembali? Apakah hasil tetap dikeluarkan apa adanya dengan penambahan keterangan sampel hemolisis in vivo atau bagaimana, dok? terima kasih sebelumnya.
July 15, 2022 1:33 pm
Kondisi hemolisis in vivo menurut literatur hanya 2% dari sampel lisis. Memang banyak pendapat terkait sampel hemolisis in vivo ini. Ada yang menyarankan direject, dikeluarkan dengan koreksi (untuk kalium), atau dikeluarkan dengan komentar. Menurut saya, jika memang sudah dipastikan hemolisisnya in vivo, hasil bisa dikeluarkan dengan catatan.
Sumber bacaan: Hemolyzed Specimens: Major Challenge for Identifying and Rejecting Specimens in Clinical Laboratories
March 17, 2023 3:34 pm
Dokter..
Saya ada beberapa pertanyaan :
1. Untuk mengukur derajat kelisisian apakah bisa dengan membandingkan dengan skala warna yg dishare di atas?
2. Untuk satuan skala warna di atas menggunakan mg/dl, tp informasi penjelasan di paragrafnya di atas menggunakan satuan mg/L, mohon informasi satuan yg betul yg mana?
3. Jika kita tidak mempunyai alat/modul untuk mengukur derajat kelisisan, apakah serum/plasma bisa kita ukur dg menghisapkan serum/plama tsb di alat Hematologi dan kita lihat nilai Hb nya?
Terimakasih
March 19, 2023 5:32 am
Izin bertanya dokter
1. Untuk batas hemolisis menggunakan satuan mg/L atau mg/dl ? karena informasi di atas batas rujukan menggunakan satuan mg/L sedangkan gambar skala warna dibawahnya menggunakan satuan mg/dl
2. Untuk penentuan derajat kelisisan apakah kita bisa memakai skala warna di atas tsb?
3. Untuk mengukur derajat kelisisan ,jika misalnya kita tidak mempunya alat untuk mengukurnya , apakah kita bisa menggunakan alat hematologi dg cara menghisapkan serum yg lisis dan kita lihat hasil Hb nya misal dalam g/dl?
Mohon informasinya