Penggunaan Tes Widal pada Diagnosis Demam Tifoid

, , 6 Comments

Dua hari yang lalu saya mendapat WA dari teman saya yang meminta dibuatkan tulisan mengenai tes Widal dan diagnosis demam tifoid, sehingga pada dua tulisan ke depan akan saya bahas mengenai tes Widal dan IgM Salmonella.

 

Tes Widal merupakan salah satu pemeriksaan tertua, berumur lebih dari 100 tahun, yang masih dikerjakan sampai sekarang di Indonesia. Tes ini dikembangkan oleh F. Widal pada tahun 1896 untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, menggunakan antigen H (flagelar) dan 0 (somatik) Salmonella typhi, untuk mendeteksi antibodi/aglutinin terhadap S.typhi pada serum pasien yang datang dengan keluhan demam.

Aglutinin 0 mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.

Tes Aglutinasi Widal

Penggunaan tes widal ini di negara maju sudah ditinggalkan, karena pemeriksaan definitif yaitu kultur bakteri, tersedia di hampir semua laboratorium. Keadaan yang berbeda kita temukan di negara miskin dan berkembang, seperti Indonesia, dimana sebagian besar laboratorium dan rumah sakit hanya memiliki tes Widal untuk diagnosis demam tifoid. Padahal tes ini memiliki keterbatasan yaitu kemungkinan terjadinya hasil positif palsu dan negatif palsu yang tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diagnosis demam tifoid hanya menggunakan tes Widal saja seringkali tidak akurat.

Penyebab tes widal negatif:

  • Tidak ada infeksi S.typhi
  • Karier
  • Kurang adekuatnya antigen bakteri untuk menginduksi terbentuknya antibodi
  • Kesalahan saat pengerjaan
  • Pemberian antibiotik sebelumnya
  • Antigen komersil yang bervariasi
  • Keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut, dll

Penyebab tes widal positif

  • Pasien terinfeksi S.typhi
  • Sebelumnya telah terpapar antigen S.typhi
  • Reaksi silang dengan Salmonella non tiphosa
  • Antigen komersil yang bervariasi
  • Reaksi silang dengan malaria atau infeksi enterobacteriaceae yang lain
  • Penyakit lain seperti demam dengue.

Kekurangan tes Widal ini dapat juga dilihat pada Kepmenkes 364 tahun 2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid, yang pada salah satu poinnya menjelaskan interpretasi tes Widal, yaitu:

  • Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masing-masing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya.
  • Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer 0 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
  • Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid
  • Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari.

Pemeriksaan tes Widal dua kali dengan rentang waktu satu minggu seperti pada pedoman di atas seringkali tidak dikerjakan dan biasanya pasien langsung diobati secara empiris sesuai klinis. Untuk itu sekarang penggunaan tes Widal sudah mulai digantikan oleh pemeriksaan IgM Salmonella yang sudah bisa dideteksi 3-4 hari setelah terjadinya demam. Pembahasan mengenai IgM Salmonella akan saya ulas di artikel selanjutnya.

Semoga bermanfaat

 

Sumber:

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

Olopoenia LA and King AL. Widal agglutination test − 100 years later: still plagued by controversy. Postgrad Med J 2000 76: 80-84