Mengapa Apoteker Harus Bisa Menginterpretasi Hasil Laboratorium?

, , Leave a comment

Pertanyaan ini yang ada di benak saya ketika diminta mengisi mata kuliah Patologi Klinik di Program Studi Farmasi. Mengapa mahasiswa farmasi perlu mendapat kuliah tentang Patologi Klinik? Mengapa mahasiswa farmasi harus memiliki pengetahuan tentang pemeriksaan laboratorium? Dan pada akhirnya mengapa seorang lulusan kuliah farmasi atau seorang apoteker harus bisa menginterpretasi hasil laboratorium? Pada awalnya saya mengira kalau mungkin pada saat melayani, apoteker bisa saja ditanya pasien mengenai hasil laboratoriumnya, sehingga dia harus paham tentang pemeriksaan laboratorium, minimal yang rutin. Ternyata alasannya tidak sesederhana itu.

Pemeriksaan laboratorium dalam praktek klinik seorang apoteker memiliki beberapa tujuan, di antaranya:

1.Menilai kesesuaian terapi obat

Apoteker menilai kesesuaian terapi obat, apakah obat yang diresepkan sesuai dengan indikasi, merupakan drug of choice, ada kontraindikasi, dosisnya sudah tepat, dan adakah efek samping obat. Data klinis pasien dan hasil pemeriksaan penunjang, salah satunya hasil laboratorium turut berperan dalam menilai kesesuaian terapi ini. Contohnya pada pasien DM, diperlukan monitoring kadar glukosa darah dalam penentuan dosis insulin.

2.Menilai efektivitas pemberian obat

Hasil laboratorium merupakan parameter yang dapat diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang dapat digunakan untuk menilai efektivitas pemberian obat. Contohnya penggunaan pemeriksaan faal hemostasis pada pasien jantung yang mendapat terapi antikoagulan untuk monitoring pemberiannya.

3.Mengevaluasi reaksi obat yang tidak diinginkan

Reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) adalah suatu respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. Reaksi obat yang tidak diinginkan ini dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat. Salah satu cara mengetahui terjadinya ROTD adalah dengan melihat hasil laboratorium, contohnya pemeriksaan fungsi hati dan ginjal pada pasien TB yang mendapat OAT. Dengan mengetahui hasil laboratorium pasien, seorang apoteker bisa menghindari penggunaan obat yang tidak direkomendasikan dan dapat menyesuaikan dosis obat untuk mencegah terjadinya ROTD.

4.Menilai kepatuhan minum obat

Salah satu penyebab terbanyak gagalnya pengobatan pasien dengan penyakit kronis adalah tingkat kepatuhan minum obat yang rendah. Penilaian kepatuhan ini salah satunya adalah dengan melakukan pemeriksaan laboratorium. Contohnya pemeriksaan HbA1c pada pasien DM yang rutin mengkonsumsi obat. Kadar HbA1c dapat mengestimasi nilai rerata kadar glukosa darah pasien antara 1-3 bulan sebelumnya. Kadar HbA1c yang tinggi menunjukkan rerata kadar glukosa darah yang tinggi pula, dan salah satu penyebabnya adalah ketidakpatuhan pasien minum obat.

Seorang apoteker dapat merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dengan pertimbangan apakah alasan pemeriksaan laboratoriumnya, kemungkinan interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, dan apakah rekomendasi yang akan diberikan terkait pemberian obat berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut.

 

Semoga bermanfaat

Sumber:

Kemenkes. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik

 

Leave a Reply