Pemeriksaan Cystatin C untuk Menilai Fungsi Ginjal

, , Leave a comment

Penyakit ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia yang menyebabkan peningkatan biaya kesehatan, tingkat kematian dan angka kesakitan. Prevalensi penyakit ginjal kronis (CKD) makin meningkat pada waktu yang singkat. Pada tahun 1990, CKD menduduki peringkat 27 sebagai penyebab kematian tertinggi, naik ke peringkat 18 pada tahun 2010, 13 pada tahun 2013, dan 12 pada tahun 2015. Dari tahun 2005-2015 tingkat kematian CKD meningkat 31,7%, dengan prevalensi penyakit ginjal diabetik meningkat 39,5%.

Kasus penyakit ginjal tiap tahun meningkat

Pemeriksaan penapis fungsi ginjal yang paling sering digunakan, terutama di Indonesia, adalah kreatinin, dimana beberapa faktor perlu diperhatikan yaitu usia, jenis kelamin, etnis, dan massa otot. Kreatinin tidak adekuat untuk memeriksa fungsi ginjal pada usia lanjut (65 tahun ke atas), karena turunnya massa otot yang bermakna.  Selain itu kreatinin juga kurang mampu mendeteksi kelainan ginjal ringan sampai sedang (fungsi ginjal turun sampai dengan 50%), yang dapat menyebabkan keterlambatan penanganan pasien. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang lebih sensitif dan lebih awal mendeteksi kelainan ginjal, salah satunya adalah pemeriksaan cystatin C.

Struktur cystatin C

Cystatin C adalah protein berukuran kecil (13 kDa), diproduksi oleh semua sel berinti pada kecepatan yang konstan. Cystatin C mengalir melalui aliran darah ke ginjal untuk difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, direabsorbsi dan dikatabolisme sempurna oleh tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat menjadi pemeriksaan yang ideal untuk menilai fungsi ginjal.

Manfaat cystatin C

Beberapa keuntungan klinis menggunakan pemeriksaan cystatin C:

  1. Cystatin C lebih spesifik dibandingkan kreatinin (Zhang et al., 2013)
  2. Cystatin C meningkat lebih dulu dibanding kreatinin pada kasus gagal ginjal akut, sehingga pemeriksaan cystatin C lebih sensitif daripada kreatinin (Murty et al., 2013)
  3. Cystatin C lebih spesifik daripada kreatinin pada penatalaksanaan CKD (NICE, 2015)
  4. Estimasi GFR dengan Cystatin C lebih baik dalam mengevaluasi pasien CKD dibandingkan estimasi GFR dengan kreatinin (Anders, 2017)
  5. Cystatin C lebih sensitif dan spesifik daripada kreatinin pada pasien anak-anak (Bokenkamp et al., 1998)
  6. Cystatin C lebih baik daripada kreatinin pada pasien lanjut usia dimana hasil seringkali rendah palsu (Fliser and Ritz, 2001)
  7. Cystatin C dapat mengevaluasi progresifitas penyakit ginjal pada pasien DM (Hoek et al., 2003)
  8. Cystatin C dapat mengevaluasi adanya perubahan fungsi ginjal lebih awal pada pasien transplantasi ginjal (Le Bricon et al., 1999)
  9. Cystatin C lebih baik dalam mengevaluasi perubahan fungsi ginjal pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (Kos, 1998)
  10. Cystatin C lebih sensitif dalam mendeteksi turunnya GFR pada pasien sirosis hati (Orlando, 2002)
  11. Cystatin C tidak melewati sawar plasenta, sehingga lebih spesifik dalam mengevaluasi fungsi ginjal pada pasien hamil (Cataldi et al., 1999)

 

Tahapan kerusakan ginjal

 

Nilai rujukan Cystatin C dalam mg/L (Finney et al., 2000):

  • 24–36 weeks       0,43–2.77
  • 0–1 year              0,59–1.97
  • 1–17 years           0,50–1.27
  • 19–49 years         0,53–0.92
  • 50–67 years         0,58–1.02
  • 60–79 years         0,93–2.68
  • > 80 years           1,07–3.35

 

Keterbatasan Cystatin C

Selain harga yang jauh lebih mahal daripada kreatinin, bisa mencapai 10-20 kali lipat, Cystatin C memiliki beberapa keterbatasan. Kadar cystatin C dipengaruhi oleh fungsi tiroid, dimana kadarnya lebih rendah pada pasien hipotiroid dan lebih tinggi pada hipertiroid. Cystatin C juga dipengaruhi oleh konsumsi obat steroid yang dapat memicu produksinya, sehingga kadarnya menjadi lebih tinggi. Penyakit keganasan juga mempengaruhi kadar cystatin C, diantaranya leukemia.

Semoga bermanfaat.

Referensi: dari berbagai sumber.

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply